Kakek Itu Menyambangi Kapal Nabi Nuh As.

 

Sumber : belajarmewarnai.info

Ketika masih kanak-kanak, kita sangat akrab dengan kisah-kisah para nabi dan rasul apalagi jika kita berada di lingkungan keluarga yang begitu kental dengan nuansa keislaman. Begitu pula yang aku dan adik laki-lakiku alami. Aku memiliki adik laki-laki yang masih kecil, Abbas namanya. Maret nanti, dia baru akan menginjak usia empat tahun sedangkan aku saat ini sudah duduk di bangku SMA. Selisih umur kita memang terhitung cukup jauh.
Setiap malam sesaat sebelum tidur, Abbas selalu meminta Bapak untuk membacakannya sebuah kisah dan biasanya yang Bapak ceritakan kepadanya hampir pasti adalah kisah-kisah nabi dan rasul—yang tentu pernah Bapak ceritakan juga padaku semasa kecil dulu. Nabi Adam As., Nabi Nuh As., Nabi Ibrahim As., Nabi Musa As., hingga junjungan kita Baginda Nabi Muhammad Saw. pernah diceritakannya. Yang agak berbeda, plot cerita yang disampaikan Bapak sama sekali belum pernah aku temukan di buku-buku kisah nabi dan rasul yang dijual di SD-SD. Entah dapat cerita dari mana bapakku itu.
Malam ini, adikku yang sedari tadi bermain dengan robot-robotannya sudah terlihat lelah dan mengantuk padahal kita baru saja selesai salat Isya. Tentu saja ini belum terlalu malam. Aku yang duduk di kursi dekat ranjang beberapa kali melihatnya menguap dengan mata yang mulai berair. Mungkin karena tadi dia tidak mau tidur siang malah memilih bermain bersama Fajar, anak tetangga sebelah yang seusia dengannya.
"Ngantuk ya, Dik?" Tanyaku kepadanya pelan.
Dia hanya mengangguk dan sesekali mengucek matanya dengan tangan kecilnya itu.
"Sebentar ya, tak panggilkan Bapak."
Aku pun segera menghampiri Bapak yang jam segini biasanya sedang duduk-duduk di teras depan rumah sambil melamun entah perihal apa—barangkali melamun juga termasuk job desk bapak-bapak—lantas memberitahunya.
Bapak kemudian datang lantas dia baringkan tubuh tuanya itu ke sisi kanan di samping badan adikku yang sudah telentang dengan mata yang sayu. Abbas hanya diam dan bersiap-siap mendengarkan cerita yang akan disampaikan Bapak. Aku—yang duduk kembali di kursi dekat ranjang—juga sudah menunggu.
"Baca doa dulu ya, Dik." Kata Bapak sambil menuntunnya membaca doa.
"Bismillahirrahmanirrahim. BismiKa Allahumma ahya wa bismiKa wa amut," setelah berdoa, adikku spontan bertanya, "Bapak malam ini mau cerita nabi siapa?"
"Adik maunya nabi siapa?"
"Nabi Nuh ya, Pak." Jawab adikku bersemangat seolah-olah hilang rasa kantuknya.
Bapak diam sejenak kemudian mulai bercerita, "Jadi dulu pada zaman Nabi Nuh As., setelah surutnya banjir yang menenggelamkan seluruh bumi selama seratus lima puluh hari, kapal yang dinaiki Nabi Nuh As. dan umatnya yang taat dan beriman kepadanya; mulai menepi," kata Bapak yang ternyata juga mulai bergairah. Karena bapakku merupakan seorang guru, beliau terhitung mahir dalam bab bercerita dan berbicara. Soalnya bila gurunya saja kesulitan berbicara pasti kasihan juga murid-muridnya.
"Kapal itu sangat besar sehingga tidak hanya dinaiki oleh manusia tapi hewan-hewan juga. Ada banyak sekali jenis hewan, seperti harimau, kuda, semut, dan lain-lain. Karena banjir ini berlangsung sangat lama, kapalnya tentu saja berada di atas air dalam waktu yang lama pula." Terang Bapak.
"Terus gimana, Pak?" Tanya adikku yang masih mendengarkan dengan saksama. Kedua matanya yang makin sayu kini menatap ke langit-langit kamar.
"Setelah kapal mendarat, semua penumpang—manusia dan hewan—turun dari kapal itu hingga kapal akhirnya kosong. Di dalam, ternyata ada banyak sekali kotoran hewan sebab maklum saja, ratusan hari mereka terus-terusan berada di sana. Bahkan saking banyaknya kotoran, sampai-sampai terbentuk ‘kubangan tai’ yang cukup besar." Lanjut Bapak sembari tampak lengkungan kecil di bibir beliau. Bagian ini memang agak menggelitik.
"Suatu hari, ada seorang kakek yang sangat sepuh. Tubuhnya tampak lemah dan punggungnya sudah mulai membungkuk. Berjalan pun harus dibantu dengan tongkat yang ke mana-mana dibawanya sebagai tumpuan. Tangannya juga gemetaran saat memegang tongkatnya sendiri. Dia berjalan pelan mendekati kapal itu— entah mau apa— dan tiba-tiba terjadilah sesuatu yang tak terduga sama sekali. Kaki si Kakek terpeleset lalu terjatuh ke kapal tepat di ‘kubangan tai' itu.” Bapak berhenti sebentar karena dia tengok ternyata adikku sudah tertidur.
Pasti Kakek itu meninggal, pikirku. Bagaimana tidak? Orang setua dan selemah itu terpeleset sampai jatuh kok.
Tak berselang lama, Bapak tetap melanjutkan lagi kisahnya. Barangkali dia tahu kalau sejak semula aku ikut menyimak dan mendengarkan.

“Kakek itu ternyata tidak apa-apa. Ketika sudah berhasil beranjak ke tepi, tiba-tiba punggung si kakek menjadi tidak bungkuk lagi. Tangannya yang semula gemetar seketika berubah kekar dan kuat. Tongkat yang ke mana-mana dibawanya sudah tak dia butuhkan lagi. Dia seperti kembali pada kondisi tubuhnya ketika dia masih muda. Masya Allah! 

                                                                                                            Rembang, 2021.

 

Oleh : A. Zulfa Muntafa . Mahasiswa Prodi PBA UIN Walisongo Semarang

Komentar

Kiriman Paling Ngehits

DAR, DER, DOR, Kisah Dramatis Petugas Saat Melumpuhkan Pelaku Teror di Tuban

Pantaskah Tuban Sebagai Syurga Menurut Al-Quran?

Presiden RI, Bumi Wali, dan KIT

Masalah Patung, Ada Oknum yang Ingin Mengadu Domba Pribumi dengan Tionghoa Tuban

Sowan Kanjeng Syekh Adipati Ranggalawe